Terasing

“hidup itu indah ternyata,ketika melihat indahnya alam pedesaan yang kita tempati sekarang ini.” ucap Mahdum kepada temannya ketika duduk di sebuah saung kecil yang berada ditengah-tengah petakan-petakan sawah didaerah tempat Ia tinggal.
“iya kawan, semua ini diberikan tuhan hanya untuk kita, manusia yang mempunyai akal untuk bisa menikmati keindahannya.” Kata temannya itu mengiyakan apa yang dikataka mahdum kepadanya.
“benar sekali, aku merasa sudah menyia-nyiakan 12 tahun hidup didunia ini hanya untuk membaca dan mempelajari teori-teori yang tidak ada manfatnya buatku, yang toh ketika sepuluh atau dua puluh tahun kemudian akan lupa dengan teori-tori yang sudah aku pelajari tempo hari.” Ucap mahdum kepada temannya itu. Temannya itu heran.
“tapi kawanku, kamu masih lebih beruntung dariku. pernah merasakan masa yang kata orang masa paling indah dalam hidup, yaitu SMA. Sedangkan aku hanya seorang anak petani yang sekolah hanya sampai kelas lima SD, karna untuk melanjutkan tidak punya biaya waktu itu.” Protes sang teman.
“indah pas mananya?,” mahdum balik memprotes kata-kata temannya itu. “dulu ketika aku sekolah di SMA, semuanya berjalan seperti biasa  sebagaimana mestinya. tidak ada sesuatu yang luar biasa, yang dikatakan masa-masa paling indah itu tidak pernah kurasakan sama sekali, yang ada malah stres ketika hendak menginjak ujian akhir. Stress karna harus mencapai target nilai yang diberikan kementrian pendidikan, yang menurutku itu semua tidak ada gunanya ketika sudah lulus dari SMA.” Tambahnya meyakinkan perkataanya yang tadi.
“setidaknya kamu sudah pernah melewati perjalanan hidup seperti yang kebanyakan orang lakukan, yaitu sekolah minimal samapai SMA. sedangkan aku, sudah bekerja semenjak putus sekolah. merasakan kerasnya hidup yang sudah merenggut masa kecil  yang seharusnya digunakan untuk gaul bersama teman-teman atau hanya sekedar main bola di sawah selepas pulang sekolah.” Sangkal sang teman yang membuat mahdum spontan memberikan argumannya lagi.
“tidak begitu juga kawan, semasa aku sekolah tak penah merasakan hal itu. Dulu aku terlalu dituntut oleh orang tua untuk berprestasi. Hari-hari semasa aku sekolah hanya diisi dengan belajar terus-menerus,  yang meski pada akhirnya tak ada hasil yang sekarang kurasakan dari giatnya aku belajar ketika sekolah, karna lagi-lagi masalah biaya yang menjadi penghalang bagiku untuk maju dengan prestasi yang kudapat ketika disekolah itu, keluargaku  tidak punya biaya untuk melanjutkan pendidikanku.”
Sang teman hanya mengangguk, dan mengiyakan perkataan taman baiknya itu. Mau melanjutkan takut disangkalnya lagi. “Lebih baik diiyakan saja” pikir sang teman.
Angin sepoi menemani obrolan mereka disela-sela waku istirahat dari menggarap lahan. perbincangan mereka berlanjut sambil sesekali menyeruput segelas kopi hitam dan sepiring singkong goreng yang juga sekali-sekali mereka santap di dalam gubuk kecil yang berdiri di pematang sawah itu.
“oh iya, apakah kamu sudah mendengar kabar bahwa beberapa tahun lagi areal pesawahan kita ini akan dibangun pabrik.?” Tanya Mahdum kepada temannya. Memulai pembicaraan baru yang tidak ada hubungannya dengan pembahasan yang tadi.
“ya, saya tau kabar itu, sudah banyak orang-orang yang memperbincangkan hal itu di kampung kita.” Jawabnya mengiyakan. “menurutku itu sangat membantu kita, karna dengan berdirinya pabrik di sini, sudah pasti akan membeli sawah kita untuk pedirian pabrik itu. Aku sendiri akan mematok harga tinggi untuk sawahku.”  
“digunakan untuk apa uang yang kau dapat dari penjualan sawah itu?” Tanya mahdum lagi, temannya sedikit tersenyum.
“rencananya sih mau saya belikan motor, karna dari dulu saya pengen sekali bisa mengendarai motor sendiri” katanya sambil meringis sedikit malu untuk mengatakannya. Mahdum menghisap dalam-dalam rokok yang dari tadi terselip diantara kedua jarinya dan menghembuskan semuanya seakan merasakan nikmatnya sambil memejamkan matanya.
“kau ini bagaimana? Kok Malah senang”
“Kenapa tidak?”
“kamu bener tidak ngerti?  pembangunan pabrik itu akan sangat merugikan kita kawan”
“Merugikan bagaimana? Bukannya malah menguntungkan kita? Sangkal sang teman.
“memang mungkin sekali kamu untung, karna kamu bakal dapat uang besar dari penjualan tanah itu,  tapi yang namanya uang, segimanapun banyaknya pasti akan habis juga, jika kita tidak ada penghasilan untuk menambahnya. Jika kamu menjual sawahmu,nanti kamu mau kerja apa lagi? Saya rasa kerjaanmu dari dulu sampai sekarang selalu bertani di sawah. Trus kalau sawahnya kamu jual, kamu mau dapat penghasilan dari mana? Apa mau terus-terusan memakai uang hasil penjualan sawahmu itu? Tidak mungkin.”
“Masalah kerjaan itu gampang. kan ada pabrik yang akan dibangun di daerah kita ini, yah kita bisa saja nanti bekerja di pabrik itu. Bukannya ada pabrik itu bakal membangun daerah kita yang tadinya daerah pertanian yang biasa orang menyebutnya dengan pedesaan, kini menjadi daerah industri yang bisa disebut daerah perkotaan. Bahkan akan lebih banyak peluang pekerjaan jika kelak pabrik itu sudah berjalan. Bisa saja kita berjualan di sekitar pabrik itu atau menawarkan jasa pijat untuk pegawai pabrik. Kita harus berpikir peluang” kata temannya mantap.
“sekarang, semuanya butuh ijazah. kamu yang hanya lulus SD mana bisa pihak pabrik memasukkanmu kerja. Seandainya diterimapun paling tinggi jadi pekerja kebersihan atau jadi pekerja kasar di lapangan. Kamu tidak lebih hanya akan menjadi babu para pemodal dan para orang-orang elit yang mendirikan pabrik itu. jika masyarakat kampung kita berpikiran seperti kamu semua, yang ada kita malah terasing didaerah kita sendiri. Terasing karna daerah kita yang sekarang indah dilihat, sejuk dipandang, jika nanti pabrik itu berdiri bakal hilang semua itu, kita pasti merasa asing dengan kampung kita. Bakal banyak orang-orang yang numpang mencari kehidupan di sini, padahal kita disini kelaparan.”
Teman mahdum terdiam dan mengiyakan perkataan temannya itu. Ia  merasa telah salah  sudah mempercayai perkataan mahdum yang tadi, bahwa sekolah itu tidak ada gunanya. karena mahdum yang mengenyam pendidikan lebih mengerti dengan kondisi yang baik untuk masyarakatnya, dan pemikrannya tidak sempit seperti dirinya yang hanya menginginkan keuntungan sesaat, tanpa memikirkan dampak yang nantinya dirasakan.

Ciputat, 10 Desember 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuping Kiri

Meracau Pujian

Berlalu Begitu Cepat