Kawanku Jono
(Diterbitkan di tabloid Institut edisi Maret 2014)
Melihat di televisi para mahasiswa berdemonstrasi jadi teringat masa lalu. Ketika aku sama seperti mereka, yang pada waktu itu aku tidak pernah ada didepan ketika berdemonstrasi, apalagi untuk berorasi.
Aku
termasuk orang yang agak pendiam dibanding teman-teman seangkatanku yang lain di kampus.
Aku ingat sekali saat itu ketika di kelas ada diskusi, aku
hanya menjadi pendengar setia, hanya melihat teman-teman yang nyerocos
berbicara yang menurutku mereka hanya berspekulasi dan racauan belaka. Tapi itu sudah bagus, sudah berani bicara
didepan teman-teman mahasiswa dan dosen.
Aku sendiri, padahal dalam hati ingin
sekali berbicara untuk menampik argumen-argumen spekulatif mereka. Tapi syaraf
malu dan gugupku terlalu kuat untuk dilawan hanya dengan semangat dalam hati.
Akupun bingung pada waktu itu, sebenarnya apa yang kutakutkan
dan membuat aku gugup.
Kalau alasannya takut salah, itu sudah membantah pikiranku yang
menganggap argumen mereka hanya spekulatif. dan kalau alasannya tidan percaya
diri, itu malah tambah tidak logis, karena tidak ada alasan untuk itu.
“coba dulu ren, coba buang jauh-jauh pikiran itu dari
kepalamu, ungkapkan saja apa yang mau kamu bicarakan, masalah benar atau salah, itu
belakngan.” Kata jono ketika kuceritakan hal itu padanya.
“tapi jon, itu tidak mudah, padahal sudah merangkai kata,
tapi ketika mulai bicara mulut ini serasa susah untuk dibuka, apalagi untuk
mengeluarkan suara.” Jawabku dengan memendan perasaan bingung.
“ah.. itu kan karna kamu belum coba,” protesnya. Pokoknya, “besok kamu harus bicara.”
“tapi besok kan tidak ada diskusi” aku mencoba beralibi
Sambil sedikit tersenyum hambar.
“mahasiswa harus mengerti reno, itu bukan alasan namanya”
tukas jono dengan menaikkan nada bicarannya.
Begitulah jono , selalu menggebu-gebu dalam hal
apapun yang sudah menjadi ambisinya, dan kali ini Ia ingin membuat aku tidak
jadi anak pendiam yang kerjaanya jadi pendengar setia saat diskusi. temanku keturunan jawa satu ini
selalu menjadi teman baikku saat apa saja. Saat sedih, bahagia. Suka maupun
duka.
Saat bertemu lagi dengan diskusi di kelas, aku berniat ingin
mencoba untuk berbicara diantara banyak teman-teman dikelas, tapi tangan yang
akan kuangkat mendadak menjadi kaku dan tidak bisa di gerakkan, rasa gugup dan
rasa lainnya yang campur aduk itu datang lagi.
Dari belakang serasa ada yang
mencolek punggungku, dan aku menoleh ternyata itu jono sambil mengerlingkan mata
sebelah kirinya kearahku, tanda aku harus menepati janjiku yang
sudah kubuat tempo hari padanya.
Akhirnya meskipun berat, kucoba mengankat tanganku dan
berhasil, dengan suara bergetar dan tidak selengkap kata-kata yang sudah
disusun dalam pikiran, tapi itu sudah membuatku senang. Dan kurasa aku harus
berterimakasih kepada jono.
“nah itu yang kumaksud ren” katanya seakan memberikan
pembuktian. “Tidak ada masalah kan ren, dan apa yang kau pikirkan
kemarin-kemarin hilang kan!!” tambahnya memberi keyakinan. Aku hanya sedikit
tertawa.
“tadi gimana, waktu aku ngomong sudah bagus belum jon?”
“untuk masalah bagus sih belum, tapi kamu berani berbicara
itu sudah bagus menurutku, tinggal sering-sering dilatih
saja.” Papar jono sok dewasa.
“iya, siap , dan terimakasih jon, ini berkat kamu” jawabku.
(Hal seperti itu, yang ku anggap kecil sekarang, ternyata
dulu harus butuh dorongan dari seseorang dulu baru aku bisa).
Sejak saat itu dan hari berikutnya, aku terus belajar dan sampai ketagihan untuk
berbicara di depan banyak orang, satu bulan, dua bulan, sampai aku lancar
berbicara didepan. Sekali lagi ini berkat jono.
Yang Selain kisah yang ini,
masih banyak sekali pelajaran yang ku ambil dari mulut yang kadang-kadang sok
dewasa itu.
****
Dering telefon menyadarkanku dari lamunan lamunan jaman dulu
ketika di kampus. Kuangkat gagang telefon yang berdering itu yang tampaknya ada
hal penting. Aku berbicara panjang lebar dengan orang dibalik telefon itu dan
pada akhirnya telefon itu kututup.
Aku duduk dan melihat ruangan ini, seakan tidak percaya akan
bisa seperti ini. Pikiranku Lagi-lagi teringat jono, aku tersenyum ketika
terlintas ingatanku yang lain tentang jono waktu status kita masih mahasiswa.
Kala itu aku mengenal makhluk indah bernama rina, anak
fakultas ekonomi yang tuhan mempertemukan kami di perpustakaan universitas. Memang
ini seperti sangat di dramatisir layaknya sinetron, tapi ini memang benar-benar
terjadi.
Ketika aku sedang berjalan, Ia juga berjalan didepanku dengan arah
berlawanan, karena kita saling tidak melihat kedepan, kita jadi bertabrakan dan
buku yang sedang Ia bawa semuanya terjatuh ke lantai. Tanganku dengan refleks
langsung membereskan buku-buku itu, dan aku berikan kepadanya.
“maaf ya!!” kata dia, dan mulutku juga mengeluarkan kata-kata
yang sama secara bersamaan. dari bibirnya yang tipis terbit senyuman yang juga
ku sambut dengan senyuman. dalam hati sudah membayangkan jika Ia bisa kumiliki.
“Heiii...” ucapnya mengagetkanku dari lamunan utopiaku.
Aku hanya tesenyum malu dengan hal itu. kita berkenalan dan tak terasa sampai
ngobrol ngalor ngidul.
Esoknya kuceritakan hal itu keteman baiku jono dan reaksinnya seperrti biasa, Ia
selalu mendukung.
“bagus itu ren, tapi aku tidak nyangka kau bisa jatuh cinta
juga rupanya” responnya agak ngeledek.
“ah kamu jon, gini-gini aku lelaki juga” ucapku membela diri.
“iya..iya.. aku Cuma bercanda.”
Dia menyarankan untuk terus mendekati rina, dan jangan
berhenti sebelum mendapatkan apa yang ku inginkan.
“Tapi aku tidak PeDe jon”
“Ah kamu, coba saja dulu, nanti masalah diterima atau tidak,
itu belakangan” jelasnya yang sok menggurui.
Kudekati rina. Kita sering ada kontak lewat telefon genggam
punyaku merk nokia yang bernyala kuning, dan serasa semakin dekat. Satu, dua,
tiga hari, seminggu dan seterusnyasampai suatu saat kudapati rina sedang jalan
dengan jono, seakan ku tak percaya. Yang aku tahu jono punya pacar bernama
wulan. Rina tidak pernah bercerita kalau dia sudah punya pacar.
Sejak saat itu, aku dan rina lepas kontak, dan tidak pernah
kuceritakan lagi tentang rina kepada jono. Teman baikku kali ini memupuskan
angan-angan tinggiku. Aku tidak tau kalau perempuan yang kumaksud adalah
pacarnya yaitu wulan. Tapi belakangan aku tau kalau nama pacarnya sebenarnya
rina wulandari.
****
Aku tersenyum lagi untuk kesekian kalinya di ruangan ini. Aku
mengingat-ngingat lagi kenangan bersama jono. Pikiranku tertuju ketika kita
sedang menempuh smester akhir. Aku memutuskan untuk mengikuti tes beasiswa ke
luar negri. jono tidak berminat untuk
hal itu, Ia ingin konsen menjadi penulis di negri ini.
Momen saat wisuda adalah saat-saat terakhir melihat jono.
Karna ku melanjutkan studiku ke inggris, kita jadi lepas kontak. Sampai
sekarang, sampai aku duduk di kursi ini. Aku ingin sekali bertemu dengan orang
yang menurutku sangat spesial, selalu mengajariku hak-hal baru, belajar untuk
hidup, dan belajar menerima keadaan.
“tok...tok...tok...” terdengar suara ketukan pintu ruangan
kantor tempatku bekerja. Aku melihat sosok wanita yang kutahu itu staf
kantorku. Ia tersenyum sambil menyerahkan kertas agak tebal berwarna merah
jambu yang belakangan kutahu itu adalah undangan pernikahan.
Didepan undangan itu tetulis“kepada Yth. Direktur utama PT. Bangun internusa, Bpk. Reno Agus
hilman Di tempat.
Kubuka undangan itu, dan aku tersentak ketika membaca isi
undangan pernikahan itu, disitu tertulis “soedjono
setiadi menikah dengan rina wulandari.”
Dalam hatiku bergumam, ya Tuhan terimakasih telah mempertemukanku
dengan sahabat baikku yang mungkin dulu engkau utus kedunia ini untuk bisa
membimbingku sampai bisa seperti ini.
Di pagi mendung
ciputat, 25 mei 2013
Komentar