Menyesal

 (Diterbitkan di tabloid Institute edisi XXIX November 2013)

“Pranngggggggg…..” terdengar suara pecahan kaca yang sepertinya dari arah kamar anakku. tak salah lagi, ini pasti perbuatannya. Setiap hari ia seperti itu, sejak obrolan kami di sore itu, ketika cuaca diluar sedang mendung, aku, istriku dan Hanif anakku berkumpul di ruang tengah rumahku yang kecil. aku duduk berdampingan dengan istriku dan Hanif duduk didepan kami berdua, layaknya tersangka yang sedang di introgasi polisi.
“Nif, ada yang mau bapak ibu bicarakan sama kamu” kataku membuka pembicaraan.
“mengenai apa pak?
“mengenai permintaan kamu tentang kuliah, dulu kan kamu pernah ngomong sama bapak, kalau sudah lulus SMA ingin melanjutkan  kuliah, dan waktu itu bapak sepakat menuruti permintaanmu itu.”
“iya pak, sekarang saya sudah lulus SMA dengan nilai terbaik pula, jadi saya bisa melanjutkan kuliah kan pak!” Kata Hanif dengan wajah sumringah.
Aku dan istriku saling pandang, dan terlihat ada kegalauan dari dari wajah istriku, dan sepertinya Ia pun  melihat hal yang sama dari wajahku. Kami berdua tidak tega untuk mengatakan ini, dan ingin memupuskan harapannya untuk melanjutkan kuliah.
“begini nak, bapak ingin sekali meneruskan sekolahmu sampai bangku kuliah, supaya bisa memperbaiki masa depan kamu, dan tidak lagi seperti bapakmu ini yang hanya kerja serabutan. Tapi….” Aku memberhentikan pembicaraan sambil menghela napas sejenak.
“tapi apa pak?, sergap Hanif memotong pembicaanku sebelum aku teruskan. “bapak tidak bisa memasukkan aku kuliah?” tambah Haniif dengan nada meninggi dan wajah yang tadinya sumringah berubah menjadi memerah, seakan yakin dengan yang ia katakan itu.
“bukan begitu nak, untuk skarang, bapak memang belum bisa mengkuliahkan kamu dulu, tapi tahun depan kalau ada rejeki, pasti bapak akan memasukkanmu kuliah” jawabku dengan wibawa seorang ayah, “satu tahun bukan waktu yang lama kok nif, untuk menunggu.” Tambahku lagi.
“Tapi pak….”
“Benar sekali nak apa kata bapakmu, dalam waktu kamu menungu satu tahun itu, kamu bisa gunakan untuk belajar guna persiapan tes masuk kuliah, tes masuk kuliah itu kan tidak gampang, dan kalau sudah persiapan, kamu bisa dengan mudah masuk perguruan tinggi yang kamu inginkan.” Tukas istriku menyergap perkataan Hanif yang belum selesai.
“tapi bu.., saya sudah membicarakan ini semua sama teman-teman, sejak masih di kelas satu, dan kita sepakat ingin masuk kuliah bareng setelah lulus, tahun ini juga.  terus saya harus mau ngomong apa sama teman-temanku, kalau aku tidak jadi kuliah tahun ini” kata anakku meledak-ledak dan terlihat raut kekecewaan di wajahnya.
“maafkan bapak ya nak, sebenarnya bapak tidak ingin memupuskan harapanmu untuk melanjutkan kuliah tahun ini, tapi memang bapak belum punya rejeki untuk membiayaimu kuliah.” Jawabku mencoba menenangkan situasi. Istriku sebenarnya merasa tidak sanggup untuk mengatakan hal tersebut, tapi apa boleh buat, ini harus dikatakan.
Ketika itu Mendung berubah menjadi hujan dan diiringi dengan sahutan petir yang membuat kami harus berbicara dengan keras agar suaranya terdengar satu sama lain. Dan kendati hujan, tetapi situasi yang kami rasakan tetap memanas.
“pak tolonglah, saya igin sekali kuliah tahun ini, saya tidak mau ketinggalan dari teman-temanku yang masuk kuliah tahun ini” kali ini Hanif memasang wajah melas yang membuat kami semakin tidak tega melihat anaknya pupus harapan untuk kuliah tahun ini.
“bapak minta maaf sama kamu nif, bukannya bapak tidak mau mengkuliahkan kamu tahun ini, tapi apa boleh buat nak, harus pakai apa bapak membiayaimu kuliah.” Kataku  meyakinkannya.
“yang sabar saja ya nak, nanti tahun depan kalau ada rejeki, pasti kita akan memasukkanmu kuliah.” tambah istriku menghiburnya
Hanif hanya terdiam, seakan tidak percaya dengan apa yang dialaminya hari itu. Dan ku lihat ada genagan air yang tertambat di bola matanya, dan lagi-lagi semakin membuat kami berdua berat hati karna sudah mengatakan hal ini.
Ia  berdiri dari tempat duduknya. dengan langkah cepat, Ia bergegas menuju kamar tidurnya, dan dengan sekuat tenga ia membanting pintu kamarnya yang sudah lapuk di makan usia itu, dan menimbulkan suara amat keras.
Sesaat,  semua terdiam, termasuk anak-anak kucing yang sedang bermain dengan ibunya di ruangan itu ikut terdiam.  kecuali guyuran air hujan yang menerpa langit-langit rumahku dan sahutan petir yang terus mengiringinya, seakan mengerti kondisi dalam keluarga kami saat itu.
Melihat hal itu, aku bergegas melangkahkan kaki ke kamar anakku Hanif, dan tak ketinggalan istriku mengekor di belakangku, ketika sampai di depan kamar, kucoba dengan pelan ku ketuk pintu kamarnya dan memanggilnya. Tapi tak ada jawaban. Beberapa kali ku ketuk lagi dan kali itu ku iringi dengan permohonan maafku terhadapnya, Tapi tetap tak ada suara dari kamar anakku itu. Sampai keesokan harinya aku mencoba hal yang sama, tetap tidak berhasil.
Berhari-hari, Ia tidak keluar dari kamarnya, sampai pada akhirnya terdengar  celotehan yang tidak jelas dan diiringi tertawa hambar Hanif dari kamar yang mungilnya itu. Dan sesekali terdengar suara benturan benda yang beradu yang aku tidak tahu apa itu. Hal seperti itu terus terjadi di kamar hanif sampai sekarang ini.
Kini aku sangat terpukul dan amat menyesal atas kejadian ini. Anakku gila karna keinginan mulia yang tidak didapatkannya, Aku menjadi orang paling berdosa di dunia saat ini, karna memupus harapan mulianya.

Untuk teman-teman yang masih ingin belajar.
Ciputat, 19 Desember 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berlalu Begitu Cepat

Teh Dini Hari

Kuping Kiri