Hotel Bintang Seribu

Blarrrr…!!!! Guyuran air membangunkanku dari mimpi yang sedikit lebih indah dari kenyataan hidupku…penjual masakan padang itu mengomel-ngomel kepadaku dan anakku yang mungkin lagi mimpi indah….
“Maafkan saya pak, saya hanya numpang tidur”. Kataku sambil kuusap sisa air dimukaku dengan punggung tangan yang kotor ini.
Anakku memandangku dengan wajah lugu --tidak mengerti…..
“Sudah-sudah…pergi sanaa….!!!!!” Usir pedagang itu sambil megibas-ngibaskan tangannya tanda agar kami segera pergi.

Aku pun pergi, anakku mengekor dibelakangku dengan wajah masih bingung, kasian anakku anak seumuran dia sudah merasakan pahitnya hidup. masa kecilnya terenggut oleh kemiskinan yang kami lami, dan mungkin masih banyak anak di negri ini yang nasibnya sama dengan putriku.

kami perrgi tanpa tujuan. Betapa tidak, kami berdua hanya gelandangan yang hidup nomaden karna  tidak punya rumah. Tiap hari kami tidur dimana saja,---di halte bus, kolong jembatan, depan warung makan, di tumpukan sampah, di stasiun kereta  semua sudah pernah kutempati. Dan tak jarang kejadain seperti seperti yang baru saja terjadi di warung makan menimpa kami.  kami terima semua itu, karna mungkin itu pantas, tapi yang membuatku nambah sedih anakku selalu mengalami kejadian ini dengan wajah polosnya, tak jarang ia kedinginan ketika tidur karna terkena dinginnya angin malam,  dan dan pernah juga  mengatakan “saya pengan tidur di dalam situ bu..” sambil menunjuk sebuah hotel berrbintang yang ada sebrang jalan tempat kami tidur. Pertanyaan itu  Aku jawab dengan sebuah nasehat seorang ibu, tapi mungkin dia tidak tahu apa yang sebenarnya  bicarakan ibunya ini.

Makanan sehari-hari kami yaitu makanan dari tempat sampah di komplek perumahan, tiap hari kami hanya mencari makanan sisa orang -orang yang  hidupnya serba  kecukupan, dan tak jarang kami menemukan sisa pizza atau makanan lain yag mungkin harganya lebih mahal dari harga diriku. Sangat disayangkan sungguh, ketika bayak orang sepetiku di jalan kelaparan, mereka berhura-hura dengan apa yng mereka punya.

Anaku juga penah menanyakan ketika kami sedang lewat di depan taman kanak-kanak yang didalamnya terlihat banyak anak-anak sedang bermain dan tertawa. “kenapa aku terlahir dari rahim orang yang miskin dan tidak punya apa-apa kaya ibu… aku pengan seperti mereka..” aku tersenyum, meskipun dalam hati seperti tertusuk sesuatu yang sangat tajam.
“ini sudah kehendak tuhan, yang kita tidak bisa untuk mengelak darinya” kataku menasehatinya, “dan jangan terlalu banyak berharap pada mereka yang ada di senayan sana, mereka hanya sibuk menghitung uang di kantongnya yang seharusnya untuk kita, Mereka tidak akan membuta mata untuk kita, karna matannya sudah di butakan oleh banyakya uang dalam kantongnya. ” Panjang lebar aku menasehatinya, tapi ia hanya anak kecil yang tidak tahu soal itu, apa lagi dia yang masih sangat dini dan pula tidak mengenyam pendidikan. aku sendiri tahu itu karna sering nguping pembicaraan orang-orang di warung kopi yang biasa aku lewati.

********
Sang surya sudah dari tadi pulang ke tempat tidurnya dan sekarang berganti dengan dinginnya angin malam yang yang lagi-lagi harus kami bedua rasakan,
Kami terus  berjala  menyusuri gemerlapnya lampu-lapu ibukota di malam hari, kami menamukan “hotel berbintang” tepatnya diluar pagar hotel berbintang,  tempat kami mebaringkan badan,setelah sehari mencari sesuap nasi di tong sampah. disinilah aku menghabiskan satu malam sisa hidupku yang tidak berguna ini. Dan disinilah “hotel” dari sekian banyak hotel yang telah kami singgahi.

Ketika anakku sudah terlelap tidur dengan beralaskan Koran, Aku menengadahkan kepala keatas langit ibu kota yang indah penuh dengan ribuan bahkan jutaan bintang yang menyala, berharap salah satu dari benda yang mirip belian itu jatuh di depanku, yang akan aku jual supaya bisa merasakan tidur di hotel sungguhan yang hanya berbintang lima atau enam.
Aku pejamkan mata untuk esok yang sangat menyedihkan.  

Kamar sumpek, Ciputat, November 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berlalu Begitu Cepat

Teh Dini Hari

Kuping Kiri